Selasa, 03 Desember 2013

Epistemologi Barat


TEORI GRAMSCI DALAM HEGEMONI AGAMA
DI INDONESIA

Antonio Gramsci yang merupakan salah seorang pemikir “kiri” karena sifat perjuangan dan pemikirannya yang bergaris besar pada Marxian. Dalam hal ini Gramsci mencurahkan sebagian hidupnya berdiam diri didalam penjara. Karena sebagian besar pemikirannya dipengaruhi oleh Marxian, dia mendapat julukan sebagai penafsir teori Karl Marx atau juga bisa dikatakan sebagai pengkritisi kekuatan dan kelemahan konsep dari pemikiran sebelum dan sezamannya, khususnya pemikiran Marxian.
Gramsci yang mempunyai latar belakang kahidupan yang berstrata sosial menengah kebawah mengaharuskan dia untuk bersusah payah membantu keluarga dan juga untuk melanjutkan pendidikannya sebagai mahasiswa. Selesai kuliah Gramsci mencoba mengekspresikan politiknya yang pada saat itu ia mulai melibatkan dirinya dengan gerakan sosialis di Turin pada tahun 1913, hingga tahun 1921 Partai Sosialis pecah dan Gramsci terpilih sebagai pengurus pusat Partai Komunis Italia yang baru. Dilanjutkan pada tahun 1926 muncullah Fasis Italia yang bertujuan untuk mengahancurkan segala kekuatan politik kiri, Gramsci pun mulai dicekal dan menjadi tahanan polisi. Setelah beberapa tahun dipenjara Gramsci mulai menulis bukunya tentang perdebatan Maxisme dan perspektif baru dalam masalah revolusi sosial di Italia.
Salah satu pemikiran Grmasci yang sangat dominan adalah tentang hegemoni. Teori hegemoni ini sebenarnya merupakan kritik yang dinyatakan secara jekas terhadap teori penyederhanaan gejala dan esensialisme yang banyak melanda penganut Marxian dan juga Non-Marxian. Disini hegemoni merujuk pada situasi sosial pilitik yang dalam istilah Gramsci disebut “momen”, dimana filsafat dan praktik sosial masyarakat menyatu dalam keadaan seimbang. Pada hakikatnya, hegemoni merupakan upaya untuk mendorong orang agar menilai dan memandang problematika sosial dalam kerangka yng ditentukan. Gramsci menggunakan konsep hegemoni untuk menjelaskan dan meneliti bagaimana masyarakat Kapitalis modern doorganisasi atau distruktur pada masa dulu dan masa kini.
Disesuaikan dalam konteks Indonesia seperti hegemoni agama. Agama yang mengandung nilai-nilai yang harus dipedomani oleh setiap penganutnya, sehingga menjadikan mereka sebagai manusia yang memanusiakan. Dan dengan dasar itu manusia menjadikan ajaran agama sebagai cara untuk memvalidasi kebenaran. Dalam pemerintahan di Indonesia pun menjadikan nilai-nilai dan ajaran agama tertentu sebagai landasan kehidupan masyarakat dan negaranya. Kemudian dalam kebenaran pikir manusia dan negara yang diperoleh dari atau dengan dasar pemahaman terhadap ajaran dan nilai agama tertentu,  memiliki konsekuensi hegemoni didalamnya. Kebenaran agama yang menjadi sebuah doktrin atau malah dogma yang tidak bisa ditolak kebenarannya dan terkadang menimbulkan fanatisme.
Sebagai contoh dalam agama islam, ada gesekan antara Syiah dan Sunni, Nu dan Muhammadiayah. Dan klaim-klaim kebenaran antar pemeluk agama  yang berbeda berakibat pada konflik anatar agama seperti yang terjadi pada tahun 1990-an akhir di Sulawesi. Di Indonesia sendiri hegemoni agama yang melahirkan diskriminasi agama. Melalui kebenaran nila-nilai agama juga megara melakukan pembenaran program-program pembangunannya, contoh seperti program Keluarga Berencana yang akhirnya dapat diterima oleh pemeluk agama-agama setelah tokoh-tokoh agama mengambil rujukan nilai keagamaan.
 Contoh kasus lagi seperti Komunitas Penghayat masyarakat adat Cirendeu, Tangerang Selatan dan komunitas adat lainnya yang tidak memeluk agama resmi pemerintah, memerjuangkan hak-hak mereka sebagai warga negara, seperti mendapat KTP dan Surat Nikah. Mereka secara tidak langsung dipaksa untuk memilih Islam atau Kristen sebgai agama mereka di KTP, karena karena aplikasi computer yang ada tidak menyediakan item penghayat pada kategori agama. Akibatnya masyarakat secara umum menerima hegemoni itu, damn memilih salah satu agama untuk dicantumkan didalam KTP, walaupun sehari-harinya tetap sebagai penghayat. Sesederhananya yang terjadi adalah benar-benar Islam atau Kristen KTP.
Selanjutnya adat yang menolak hegemoni agama-agama, negara yang tidak akan memilih kedua agama dominan diatas, dan membiarkan kategori agama dalam KTP dengan strip (kosong). Ini yang akan memiliki konsekuensi administrasi penduduk, terutama berkaitan dengan praktek pernikahan adat.

Selasa, 29 Oktober 2013

Idealisme dan Tokoh-Tokohnya





A.    Latar Belakang Idealisme

Aliran ini merupakan aliran yang sangat penting dalam perkembangan sejarah pemikiran manusia. Mula-mula dalam filsafat barat kita temui dalam bentuk ajaran yang murni dari Plato. Yang menyatakan bahwa alam, cita-cita itu adalah yang merupakan kenyataan sebenarnya. Adapun alam nyata yang menempati ruang ini hanya berupa bayangan saja dari alam idea.
Pada awal abad ke-20 aliran filosofis yang dominan di inggris adalah idealisme. Kadang-kadang juga disebut neohegelianisme Inggris, karena filsafat Hegel jelas sekali merupakan sumber inspirasi yang utama bagi para penganut idealisme Inggris. Tetapi itu tidak berarti bahwa filsuf-filsuf bersangkutan hanya dipengaruhi oleh Hegel saja, seba filsafat Kant, misalnya sering kali digunakan juga dan dari filsuf-filsuf Yunani mereka menaruh perhatian khusus pada Plato.[1]
Aristoteles memberikan sifat kerohanian dengan ajarannya yang menggambarkan alam ide sebagai suatu tenaga yang berada dalam benda-benda dan menjalankan pengaruhnya dari benda itu. Sebenarnya dapat dikatakan bahwa paham idealisme sepanjang masa tidak pernah hilang sama sekali. Di masa abad pertengahan malahan satu-satunya pendapat yang disepakati oleh semua ahli pikir adalah dasar idealisme ini.
Pada jaman Aufklarung para filosof yang mengakui aliran serba dua (dualisme) seperti Descartes dan Spinoza yang mengenal dua pokok yang bersifat kerohanian dan kebendaan, maupun keduanya mengakui bahwa unsur kerohanian lebih penting daripada kebendaan. Selain itu, segenap kaum agama sekaligus dapat digolongkan kepada penganut idealisme yang paling setia sepanjang masa, walaupun mereka tidak memiliki dalil-dalil filsafat yang mendalam. Puncak jaman idealisme pada masa abad ke-18 dan 19 ketika periode idealisme. Dan Jerman yang berpengaruh besar di Eropa.
Secara historis, idealisme diformulasikan dengan jelas pada abad IV sebelum masehi oleh Plato (427-347 SM). Athena, selama Plato hidup, adalah kota yang berada dalam kondisi transisi (peralihan). Peperangan bangsa Persia telah mendorong Athena memasuki era baru. Seiring dengan adanya peperangan-peperangan tersebut, perdagangan dan perniagaan tumbuh subur dan orang-orang asing tinggal diberbagai penginapan Athena dalam jumlah besar untuk meraih keuntungan mendapatkan kekayaan yang melimpah. Dengan adanya hal itu, muncul berbagai gagasan-gagasan baru ke dalam lini budaya bangsa Athena. Gagasan-gagasan baru tersebut dapat mengarahkan warga Athena untuk mengkritisi pengetahuan & nilai-nilai tradisional. Saat itu pula muncul kelompok baru dari kalangan pengajar (para Shopis). Ajarannya memfokuskan pada individualisme, karena mereka berupaya menyiapkan warga untuk menghadapi peluang baru terbentuknya masyarakat niaga. Penekanannya terletak pada individualisme, hal itu disebabkan karena adanya pergeseran dari budaya komunal masa lalu menuju relativisme dalam bidang kepercayaan dan nilai.
Aliran filsafat Plato dapat dilihat sebagai suatu reaksi terhadap kondisi perubahan terus-menerus yang telah meruntuhkan budaya Athena lama. Ia merumuskan kebenaran sebagai sesuatu yang sempurna dan abadi (eternal). Dan sudah terbukti, bahwa dunia eksistensi keseharian senantiasa mengalami perubahan. Dengan demikian, kebenaran tidak bisa ditemukan dalam dunia materi yang tidak sempurna dan berubah. Plato percaya bahwa disana terdapat kebenaran yang universal dan dapat disetujui oleh semua orang. Contohnya dapat ditemukan pada matematika, bahwa 5 + 7 = 12 adalah selalu benar (merupakan kebenaran apriori), contoh tersebut sekarang benar, dan bahkan di waktu yang akan datang pasti akan tetap benar. Idealisme dengan penekanannya  pada kebenaran yang tidak berubah, berpengaruh pada pemikiran kefilsafatan. Selain itu, idealisme ditumbuh kembangkan dalam dunia pemikiran modern. [2]

B.     Pengertian Idealisme
Arti filsafati dari kata idealisme ditentuksn lebih banyak oleh arti dari kata ide dari pada kata ideal. W.E. Hocking, seorang idealis mengatakan bahwa kata idea-ism lebih tepat digunakan idealism. Secara ringkas, bahwa realitas terdiri dari ide-ide, pikiran-pikiran, akal (mind) atau jiwa (self) dan bukan benda material dan kekeuatan. Idealisme menekankan mind sebagai hal yang lebih dahulu (primer) dari pada materi. Sebaliknya,  materialisme mengatakan sebaliknya. Materialisme mengatakan bahwa materi itu hal yang riil atau nyata. Adapun akal (mind) hanyalah fenomena yang menyertainya. Idealisme mengatakan bahwa akal itulah yang riil dan materi hanyalah merupakan produk sampingan. Dengan demikian, idealisme mengandung pengingkaran bahwa dunia ini pada dasarnya sebagai sebuah mesin besar yang harus ditafsirkan sebagai materi, mekanisme atau kekuatan saja.
Alam bagi orang idealis, mempunyai arti dan maksud yang diantara aspek-aspeknya adalah perkembangan manusia. Oleh karena itulah seorang idealis akan berpendapat bahwa, terdapat suatu harmoni yang dalam arti manusia dengan alam. Apa yang “tertinggi” dalam “jiwa” juga merupakan “yang terdalam dalam alam”. Manusia merasa ada dalam rumahnya dalam alam. Ia bukanlah orang atau makhluk ciptaan nasib, oleh karena alam ini adalah suatu sistem yang logis atau spiritual, dan hal ini tercermin dalam usaha manusia untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Jiwa “self” bukannya satuan yang terasing atau tidak riil, jiwa adalah bagian yang sebenarnya dari proses alam. Proses ini dalam tingkat yang tinggi menunjukkan dirinya sebagai aktifitas, akal, jiwa atau perorangan. Manusia sebagai suatu bagian dari alam menunjukkan struktur alam dalam kehidupan sendiri.[3]
Beberapa pengertian Idealisme :
1.      Adanya suatu teori bahwa alam semesta beserta isinya adalah suatu   penjelmaan pikiran. 
2.      Untuk menyakan eksistensi realitas, tergantung pada suatu pikiran dan aktivitas-aktivitas pikiran.
3.      Realitas dijelaskan berkenaan dengan gejala-gejala psikis seperti pikiran-pikiran, diri, roh, ide-ide, pemikiran mutlak dan lain sebagainya dan bukan berkenaan dengan materi.
4.      Seluruh realitas sangat bersifat mental (spiritual, psikis). Materi dalam bentuk  fisik tidak ada.
5.      Hanya ada aktivitas berjenis pikiran dan isi pikiran yang ada. Dunia eksternal tidak bersifat fisik.
Pandangan beberapa filsuf mengenai Idealisme :
1.      Schelling memberikan nama yang diberikan Idealisme subyektif pada filsafat Fichte, dengan alasan bahwa dalam pemikiran Fichte dunia merupakan postulat subyek yang memutuskan.
2.      Idealisme obyektif adalah nama yang diberikan oleh Schelling pada pemikiran filsafatnya. Menurutnya, alam adalah intelegensi yang kelihatan. Hal tersebut menunjukkan semua filsafat yang mengidentikkan realitas dengan ide, akal atau roh.
3.      Hegel menerima klasifikasi schelling, dan mengubahnya menjadi idealisme absolut sebagai sintesis dari pandangan idealisme subyektif (tesis) dan obyektif (antitesis).
4.      Idealisme transendental adalah pandangan dan penyebutan dari Immanuel Kant. Sering disebut sebagai idealisme kritis. Pandangan ini mempunyai alternatif yaitu isi dari pengalaman langsung tidak dianggap sebagai benda dalam dirinya, sedangkan ruang dan waktu merupakan forma intuisi kita sendiri.
5.      Idealisme personal adalah sistem filsafat Howison dan Bowne.
6.      Idealisme voluntarisme dikembangkan oleh Foulee dalam suatu sistem yang melibatkan tenaga pemikiran.
7.      Idealisme teistik pandangan dan sistem filsafat dari Ward.
8.       Idealisme monistik adalah penyebutan dan sistem filsafat dari Paulsen.
9.      Idealisme etis adalah pandangan filsafat yang dianut oleh Sorley dan Messer.
10.  Idealisme Jerman, pemicunya adalah Immanuel Kant dan dikembangkan oleh penerus-penerusnya. Idealisme merupakan pembaharuan dari Platonis, karena para pemikir melakukan terobosan-terobosan filosofis yang sangat penting dalam sejarah manusia, hanya dalam tempo yang sangat singkat, yaitu 40 tahun (1790- 1830) dan gerakan intelektual ini mempunyai kedalaman dan kekayaan berpikir yang tiada bandingnya.[4]


C.    Tokoh-Tokoh Idealisme

1.         Plato (477 -347 S.M)
Menurutnya, cita adalah gambaran asli yang semata-mata bersifat rohani dan jiwa terletak di antara gambaran asli dengan bayangan dunia yang ditangkap oleh panca indra. Dan pada dasarnya sesuatu itu dapat dipikirkan oleh akal, dan yang berkaitan juga dengan ide atau gagasan. Mengenai kebenaran tertinggi, dengan doktrin yang dikenal dengan istilah ide, Plato mengemukakan bahwa dunia ini tetap dan jenisnya satu, sedangkan ide tertinggi adalah kebaikan.
Menurut Plato, kebaikan merupakan hakikat tertinggi dalam mencari kebenaran. Tugas ide adalah memimpin budi manusia dalam menjadi contoh bagi pengalaman. Siapa saja yang telah mengetahui ide, manusia akan mengetahui jalan yang pasti, sehingga dapat menggunakannya sebagai alat untuk mengukur, mengklarifikasikan dan menilai segala sesuatu yang dialami sehari-hari.

2.      Immanuel Kant (1724 -1804)
Ia menyebut filsafatnya idealis transendental atau idealis kritis dimana paham ini menyatakan bahwa isi pengalaman langsung yang kita peroleh tidak dianggap sebagai miliknya sendiri melainkan ruang dan waktu adalah forum intuisi kita. Dengan demikian, ruang dan waktu yang dimaksudkan adalah sesuatu yang dapat membantu kita (manusia) untuk mengembangkan intuisi kita. Menurut Kant, pengetahuan yang mutlak sebenarnya memang tidak akan ada bila seluruh pengetahuan datang melalui indera. Akan tetapi, bila pengetahuan itu datang dari luar melalui akal murni, yang tidak bergantung pada pengalaman. Dapat disimpulkan bahwa filsafat idealis transendental menitik beratkan pada pemahaman tentang sesuatu itu datang dari akal murni dan yang tidak bergantung pada sebuah pengalaman.


3.      Pascal (1623-1662)
Kesimpulan dari pemikiran filsafat Pascal antara lain :
a.       Pengetahuan diperoleh melalaui dua jalan, pertama menggunakan akal dan kedua menggunakan hati. Ketika akal dengan semua perangkatnya tidak dapat lagi mencapai suatu aspek maka hati lah yang akan berperan. Oleh karena itu, akal dan hati saling berhubungan satu sama lain. Apabila salah satunya tidak berfungsi dengan baik, maka dalam memperoleh suatu pengetahuan itu juga akan mengalami kendala.
b.      Manusia besar karena pikirannya, namun ada hal yang tidak mampu dijangkau oleh pikiran manusia yaitu pikiran manusia itu sendiri. Menurut Pascal manusia adalah makhluk yang rumit dan kaya akan variasi serta mudah berubah. Untuk itu matematika, pikiran dan logika tidak akan mampu dijadikan alat untuk memahami manusia. Menurutnya alat-alat tersebut hanya mampu digunakan untuk memahami hal-hal yang bersifat bebas kontradiksi, yaitu yang bersifat konsisten. Karena ketidak mampuan filsafat dan ilmu-ilmu lain untuk memahami manusia, maka satu-satunya jalan memahami manusia adalah dengan agama. Karena dengan agama, manusia akan lebih mampu menjangkau pikirannya sendiri, yaitu dengan berusaha mencari kebenaran, walaupun bersifat abstrak.
c.       Filsafat bisa melakukan apa saja, namun hasilnya tidak akan pernah sempurna. Kesempurnaan itu terletak pada iman. Sehebat apapun manusia berfikir ia tidak akan mendapatkan kepuasan karena manusia mempunyai logika yang kemampuannya melebihi dari logika itu sendiri. Dalam mencari Tuhan Pascal tidak menggunakan metafisika, karena selain bukan termasuk geometri tapi juga metafisika tidak akan mampu. Maka solusinya ialah mengembalikan persoalan keTuhanan pada jiwa. Filsafat bisa menjangkau segala hal, tetapi tidak bisa secara sempurna. Karena setiap ilmu itu pasti ada kekurangannya, tidak terkecuali filsafat.


4.      J. G. Fichte (1762-1914 M.)
Ia adalah seorang filsuf jerman. Ia belajar teologi di Jena (1780-1788 M). Pada tahun 1810-1812 M, ia menjadi rektor Universitas Berlin.   Filsafatnya disebut “Wissenschaftslehre” (ajaran ilmu pengetahuan). Secara sederhana pemikiran Fichte: manusia memandang objek benda-benda dengan inderanya. Dalam mengindra objek tersebut, manusia berusaha mengetahui yang dihadapinya. Maka berjalanlah proses intelektualnya untuk membentuk dan mengabstraksikan objek itu menjadi pengertian seperti yang dipikirkannya.
Hal tersebut bisa dicontohkan seperti, ketika kita melihat sebuah meja dengan mata kita, maka secara tidak langsung akal (rasio) kita bisa menangkap bahwa bentuk meja itu seperti yang kita lihat (berbentuk bulat, persegi panjang, dll). Dengan adanya anggapan itulah akhirnya manusia bisa mewujudkan dalam bentuk yang nyata.



5.         F. W. S. Schelling (1775-1854 M.)
Schelling telah matang menjadi seorang filsuf disaat dia masih amat muda. Pada tahun 1798 M, dalam usia 23 tahun, ia telah menjadi guru besar di Universitas Jena. Dia adalah filsuf Idealis Jerman yang telah meletakkan dasar-dasar pemikiran bagi perkembangan idealisme Hegel.
Inti dari filsafat Schelling: yang mutlak atau rasio mutlak adalah sebagai identitas murni atau indiferensi, dalam arti tidak mengenal perbedaan antara yang subyektif dengan yang obyektif. Yang mutlak menjelmakan diri dalam 2 potensi yaitu yang nyata (alam sebagai objek) dan ideal (gambaran alam yang subyektif dari subyek). Yang mutlak sebagai identitas mutlak menjadi sumber roh (subyek) dan alam (obyek) yang subyektif dan obyektif, yang sadar dan tidak sadar. Tetapi yang mutlak itu sendiri bukanlah roh dan bukan pula alam, bukan yang obyektif dan bukan pula yang subyektif, sebab yang mutlak adalah identitas mutlak atau indiferensi mutlak.
Maksud dari filsafat Schelling adalah, yang pasti dan bisa diterima akal adalah sebagai identitas murni atau indiferensi, yaitu antara yang subjektif dan objektif sama atau tidak ada perbedaan. Alam sebagai objek dan jiwa (roh atau ide) sebagai subjek, keduanya saling berkaitan. Dengan demikian yang mutlak itu tidak bisa dikatakan hanya alam saja atau jiwa saja, melainkan antara keduanya.[5]

6.      G. W. F. Hegel (1770-1031 M.)
Ia belajar teologi di Universitas Tubingen dan pada tahun 1791 memperoleh gelar Doktor. Inti dari filsafat Hegel adalah konsep Geists (roh atau spirit), suatu istilah yang diilhami oleh agamanya. Ia berusaha menghubungkan yang mutlak dengan yang tidak mutlak. Yang mutlak itu roh atau jiwa, menjelma pada alam dan dengan demikian sadarlah ia akan dirinya. Roh itu dalam intinya ide (berpikir).[6]
Hegel sangat memetingkan rasio. Yang dimaksud bukan saja rasio pada manusia perorangan, tetapi juga bahkan terutama rasio pada Subjek Absolut, karena Hegel pun menerima prinsip idealistis, bahwa realitas seluruhnya harus disertakan dengan suatu subjek. Suatu dalil Hegel yang kemudian menjadi terkenal berbunyi, “semuanya yang riil bersifat rasional dan semua yang rasional bersifat riil”. Dalil ini maksudnya ialah bahwa luasnya rasio sama dengan luasnya realitas. Realitas seluruhnya adalah proses pemikiran atau “ide” menurut istilah yang dipakai Hegel, yang memikirkannya sendiri. Atau dengan perakataan Hegel lain lagi, realitas seluruhnya adalah lambat laun akan sadar akan dirinya. Dengan mementingkan rasio, Hegel sengaja bereaksi atas kecondongan intelektual pada waktu itu yang mencurigai rasio sambil mengutamakan perasaan. Kecondongan ini terutama dilihat di dalam kalangan “filsafat kepercayaan” dan dalam aliran sastra Jerman yang disebut “Romantik”.[7]



[1] K. Bertens.Filsafat Barat Kontemporer Inggris-Jerman(Jakarta:PT Gramedia Pustaka Umum,1981)hlm.17
[2] Http://lutfihermo.blogspot.com/2011/09/idealisme.html
[3] Juhaya S. Praja.Aliran-Aliran Filsafat & Etika (Bogor:Kencana,2003) hlm.126
[4] Http://lutfihermo.blogspot.com/2011/09/idealisme.html
[5] Http://lutfihermo.blogspot.com/2011/09/idealisme.html
[6] Http://lutfihermo.blogspot.com/2011/09/idealisme.html
[7] Juhaya S. Praja.Aliran-Aliran Filsafat & Etika (Bogor:Kencana,2003) hlm.129